Sejarah
Minahasa
Minahasa berasal dari kata MINAESA
yang berarti PERSATUAN, pada zaman dahulu Minahasa dikenal dengan nama
MALESUNG. Asal-usul orang Minahasa, berdasarkan penyelidikan dari para ahli
suku bangsa yg berasal dari Eropah, bahwa orang Minahasa berasal dari bagian
Utara dan mempunyai pertalian serta banyak kesamaan dengan bangsa Jepang dan
Philipina, baik dalam bentuk physic maupun keadaan rambut, tulang, paras wajah,
bentuk mata dan lain-lain. Dari segala bahasa maka bahasa daerah yang digunakan
orang Minahasa termasuk dalam rumpun bahasa Tagalog ( Philipina ).
Menurut penyelidikan ahli ilmu
purbakala ( Archaeologist ) Dr.J.P.G.RIEDEL WILKAN dan GRAAFLAND bahwa
pemukiman nenek moyang orang Minahasa dahulunya disekitar pegunungan Wulur Mahatus
kemudian berkembang berpindah ke NIEUTAKAN sekitar Tompasobaru saat ini.
Leluhur orang Minahasa adalah
berasal dari hubungan perkawinan antara TOAR dengan Putri RUMIMOTO ( anak
Kaisar Jepang TENO HEIKA }. Kata Lumimuut berasal dari ceritera rakyat Minahasa.
Menurut legenda ketika awal mula perkenalan Toar dengan Putri Rumimoto, bagi
Toar terasa janggal menyebut kata “Rumimoto”, ketika Toar mencoba menirukan apa
yg diucapkan Putri Rumimoto, namun selalu saja ucapan Toar yang terdengar
adalah kata “Lumimuut” hingga singkatnya mereka berdua membentuk keluarga “
Toar - Lumimuut “.
Pada zaman itu keturunan Toar
Lumimuut dibagi dalam 3 (tiga) tingkatan golongan yaitu :
- MAKARUA SIOW : Para Pengatur Ibadah dan Adat
- MAKATELU PITU : Golongan yang Mengatur Pemerintahan
- PASIOWAN TELU : Golongan Rakyat
Istilah MAKARUA SIOW ( 2 x 9 ) ;
MAKATELU PITU ( 3 x 7 ) dan PASIOWAN TELU ( 9 x 9 x 9 ) yg diambil dari bunyi
BURUNG MANGUNI pada saat dilakukan pengesahan golongan - golongan tersebut.
Penggolongan ini tidak dapat bertahan lama, karena terjadi kawin mawin diantara
ketiga golongan tersebut.
Berdasarkan penyelidikan
Dr.JPG.Riedel Wilkan sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu
Musyawarah para pemimpin di Watu Pinawetengan, terdapat bekasnya tertulis pada
batu besar dan dapat dilihat hingga sampai saat ini. Musyawarah para leluhur
itu disamping untuk menegakkan adat istiadat, juga pengaturan tentang pembagian
wilayah di Malesung ( sekarang menjadi Minahasa ) sebagai berikut :
- ANAK SUKU TONTEWOH ( Tonsea ) menuju ke Timur Laut ;
- ANAK SUKU TOMBULU Menuju Utara ;
- ANAK SUKU TOULOUR Ke Timur menuju Atep ;
- ANAK SUKU TOMPEKAWA Ke Barat Laut, menempati sebelah
Timur Tombasian Besar.
Pada saat itu belum semua Daratan
Minahasa ditempati, pemukiman keturunan leluhur barulah sampai digarisan sungai
Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia. Nanti setelah
permulaan Abad XV semakin berkembang pesatnya keturunan TOAR LUMIMUUT (orang
Minahasa) pendek kata terjadinya perang dengan Bolaang Mongondow, maka
penyebaran penduduk makin meluas keseluruh daerah Minahasa. Sejalan dengan itu
anak sukupun berkembang menjadi anak suku TONSEA, TOMBULU, TOULOUR,
TOUNTEMBOAN, TONSAWANG, PONOSAKAN, dan Suku BANTIK .
Dengan berpatokan pada fakta
tersebut diatas, maka didalam menentukan hari jadi Minahasa, rakyat Minahasa yg
tersebar dari Likupang hingga Modoinding, melalui wakil-wakilnya di DPRD
Kab.Minahasa, telah menetapkan tanggal 5 November 1428 sebagai hari jadi
MINAHASA.
Di Minahasa sejak dahulu tidak
pernah mengenal adanya pemerintahan yang diperintah oleh seorang Raja, namun
yang ada yaitu :
WALIAN : Pemimpin Agama/ Adat serta
disebut dukun ;
TONAAS : Orang keras yg ahli
memimpin, ahli Strategi, ber -
wawasan luas khususnya ilmu
Pertanian, Kewanuaan,
mereka yg dipilih menjadi Kepala
Walak ;
TETERUSAN : Panglima Perang ;
POTUASAN : Penasehat.
Dengan bertambahnya penduduk maka yg
menjadi Kepala WANUA disebut Tu’a Um Banua selanjutnya dikenal UKUNG TUA dan
akhirnya istilah tersebut menjadi HUKUMTUA, dimana pengertian semua istilah
tersebut sama artinya yaitu PELINDUNG. Dibawah Hukumtua disebut TUA Lukar (
Kepala Lingkungan ) dan MEWETENG ( Pembagi Kerja ).
Sebutan TONAAS didalam kalangan
orang Minahasa yakni julukan bagi seorang pendekar pemberani, jujur dan baik
budi, suka menolong orang yang berada dalam kesusahan. Pendekar yang tidak
pernah menyerah menegakkan kebenaran, sehingga figur Tonaas adalah yang
mempunyai kekuatan lebih disertai watak/karakter yg keras ( pengertian zaman
dahulu ). Sedangkan pada era saat ini arti Tonaas secara umum luas artinya
sebagai seorang yang mampu bertanggung jawab, berjiwa Patriotisme, dan juga
sebagai figure pemimpin yg dapat menjunjung tinggi serta melestarikan
nilai-nilai adat dan budaya asli Minahasa didalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Nama MANGUNI adalah sejenis burung
malam, yang bagi orang Minahasa lebih dikenal dengan nama burung doyot/Loyot (
burung hantu ) . Pada zaman dahulu disebut sebagai “ Koko ni Opo ” sebab bunyi
burung ini digunakan oleh para leluhur sebagai tanda pengesahan/pelantikan
suatu golongan, dan juga sebagai makhluk pembawah berita, burung penghubung (
komunikator ) melalui tanda-tanda bunyi burung Manguni, terutama dalam
menghadapi serangan-serangan musuh.
Sebagai contoh dalam ceritera
Tongkeina Linekepan, dimana menceriterakan rencana penyerangan Raja Mindanau yg
dikenal sebagai Kowalan Watulinei ( julukan leluhur Pangerapan ) yg artinya
pendekar berkulit batu asahan.Atas petunjuk melalui tanda bunyi burung Manguni
( ko’ko ni Opo) maka para leluhur sudah dapat mengetahui sebelumnya apa yg
nantinya akan terjadi, sehingga leluhur-leluhur sudah siap siaga untuk
menghadapi serangan dari Raja Mindanau. Ringkasnya terjadi perang tanding
diujung utara dataran Minahasa ( wilayah Likupang saat ini ). Oleh karena adanya
persiapan yang matang, serta kekuatan dan kesaktian para Leluhur, sehingga Raja
sakti -
Mindanau berjulukan Pendekar
berkulit batu asahan mampu dihancurkan oleh para Tonaas. Ini semua atas jasa
dari burung Manguni ( burung Loyot/burung
hantu ) sehingga dataran Minahasa
ujung utara dan pulau-pulau sekitarnya dapat direbut kembali dari kekuasaan
Raja Mindanau.
Berkaitan dengan burung Loyot/Doyot,
fakta kisah penulis saat mengikuti prosesi pengesahan adat pengurus Korwil,
pada tanggal 11 Agustus 2007 di Watu Pinawetengan salah satu situs sejarah di
Tompaso, tempat yg pernah dilakukan Musyawarah oleh 9 ( sembilan ) Tonaas pada
Tahun 670. Pada saat malam pelantikan adat berlangsung dengan hikmat disertai
rintihan hujan, terdengar beberapa kali suara teriakan burung doyot/burung
Manguni. Bunyi Koko Ni Opo ini pertanda bahwa pengesahan pengurus telah
mendapat restu dari Opo Empung (Tuhan Pencipta). Adapun hal-hal lainnya yg
terjadi diluar perencanaan, sebab terdapat beberapa orang pengurus lainnya yg
seharusnya ikut dalam pelantikan ini. Secara kebetulan terpisah dengan
rombongan kami oleh sebab terhalang sesuatu hal lain. Sehingga beberapa orang
pengurus Korwil tidak dapat turut serta dilantik secara adat Minahasa yang
sangat langkah diadakan ditempat bersejarah di Watu Pinawetengan.
BINTANG 9 (Sembilan) identik dengan
Sembilan LELUHUR/TONAAS orang Minahasa yang pernah melakukan musyawarah di Watu
Pinawetengan di Kecamatan Tompaso pada tahun 670, yakni Leluhur PONTORORING,
PANGERAPAN, TUMALUN, SUMANTI, TUMIDENG adalah Pendekar Bumi, MAKAWALANG,
LINGKAN WENE adalah Putri padi (Penguasa padi) dan Leluhur SIOWKURUR. Hingga
saat ini angka SEMBILAN dipakai sebagai angka pelindung bagi warga keturunan
Toar Lumimuut di Sulawesi Utara umumnya.
Bunyi teriakan Burung Manguni yang
berbunyi 9 ( sembilan kali ) bunyi burung itu menandakan bahwa kemenangan dan
keberuntungan akan selalu berpihak kepada para leluhur dalam menghadapi
lawan-lawannya dari suku bangsa Mindanao yg selalu mencoba menguasai tanah
Malesung. Dengan cara disentakkannya kaki ketanah tiga kali dengan menyebut
kata Tuama tiga kali, sambil memegang senjata dengan kedua belah tangannya
berserulah para leluhur disertai kukukan memanggil dan memohon pertolongan
arwah sang leluhur dan memohon perlindungan kepada Opo Empung yang dimaksud
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana tersebut pada Ceritera rakyat Minahasa
secara turun temurun tentang riwayat leluhurnya yakni seorang pendekar gagah
perkasa, jujur dan baik hati bernama TUMALUN yg mempunyai istri bernama Tonton
dengan dua orang anaknya bernama Mawikit dan Kawulanan.
MAKAWALANG : adalah Leluhur penguasa
tanah Malesung
SIOWKURUR : adalah Leluhur penguasa
yang menjaga dan mengawasi
segala bukit dan lembah tanah
Malesung yg dikenal
dengan Pendekar Siownatokaan, wo
siownapasongan.
Opo Wailan / Empung adalah Tuhan
pencipta ( bahasa Tombulu)
Opo Kasuruan adalah Tuhan Pencipta (
Bahasa Tompakewa )
ASAL – USUL Leluhur orang Minahasa (
Toar Lumimuut ) yang penulis peroleh dari beberapa sumber, juga berdasarkan
pada ceritera rakyat Minahasa secara turun temurun. Bahwa kata TOAR artinya
manusia berasal dari api, karena letusan gunung api yg terjadi sangat dahsyat
pada zaman itu, sehingga akibat dari letusan tersebut berubah menjadi danau
Tondano. Dalam Hikayat Malesung letusan gunung berapi yang sangat hebat
tersebut terjadi pada zaman Megalitikum sebelum Masehi.
TO artinya Orang
AR artinya Api/Panas
Didalam sejarah Malesung ( sekarang
menjadi Minahasa ), tersebutlah seorang laki-laki tinggi besar dan berbadan
kekar bernama Toar bermukim dilembah Neutakan yg sekarang wilayah Tompaso,
disini terdapat Watu Pinabetengan .
Pada Abad ketiga Nippon ( Jepang )
diperintah oleh seorang Kaisar bernama TENO HEIKA, mempunyai seorang putri
bernama RUMIMOTO parasnya sangat cantik jelita. oleh karena terjadi perebutan
kekuasaan sehingga terjadi peperangan dan singkatnya kekalahan dipihak Kaisar
Teno Heika. Oleh karena ayahnya turun tahta dan tidak lagi berkuasa, sehingga
putri Rumimoto sangat sedih serta selalu mengurung diri didalam kamarnya seorang
diri.
Disaat Kaisar baru akan dilantik,
dimintakan kepada Rumimoto untuk mengisi acara tarian pada pesta kemenangan
sekaligus pengangkatan Kaisar yang baru.
Putri Rumimoto dimintakan langsung
oleh Kaisar yang baru untuk turut menari bersama-sama dengan 9 ( sembilan )
orang penari, yang terdiri dari gadis – gadis cantik pilihan di Jepang, namun
Purti Rumimoto yang juga salah seorang penari tercantik, menolak perintah
Kaisar baru tersebut. Sehingga Rumimoto diberikan sangsi hukuman mati atas
penolakan tersebut. Akan tetapi para pembesar serta rakyat di Jepang banyak
yang tidak setuju terhadap putusan hukuman mati yang dijatuhkan kepada
Rumimoto, maka para Hakim pengadilan merubah hukuman mati Rumimoto diganti
dengan hukuman lain yakni akan diasingkan, dengan cara Rumimoto harus dinaikkan
diatas sebuah perahu besar seorang diri dengan diberi bekal makanan dan pakaian
secukupnya, lalu dilepas ditengah-ditengah laut samudra .
Singkatnya berhari-hari bahkan
berminggu - minggu lamanya Rumimoto diatas perahu terombang ambing dilaut lepas
tanpa arah dan tujuan yang pasti. Akhirnya perahu yang membawah Rumimoto,
terdampar ditanah Malesung yaitu di Mana’ndou yg artinya ditempat yg jauh (
sekarang bernama Manado ). Putri Rumimoto sangat haus dan lapar, dengan tenaga
yang masih tersisa Rumimoto berjalan menyusuri hutan disekitar pesisir
Tanawangko untuk mencari air tawar dan buah-buahan yg dapat dimakan.
Dalam perjalanan Putri Rumimoto
dihutan untuk mencari makan, tanpa disadari putri sudah semakin jauh
kepedalaman hutan Minahasa. Putri Rumimoto berhenti istrahat dilereng bukit
bekas letusan gunung berapi ( sekarang telah menjadi danau Tondano ) tampak
olehnya dikejauhan cahaya berada diatas perbukitan. Oleh karena rasa keinginan
tahunya, maka Rumimoto berjalan menuju sumber cahaya terang benderang tersebut,
dengan harapan Rumimoto kemungkinan ada orang lain selain dirinya yang berada
didalam hutan untuk dapat dimintakan pertolongan .
Dalam perjalanan Rumimoto menuju
keatas bukit, tiba-tiba muncul segerombolan babi hutan menuju kearah Putri
Rumimoto, sehingga putri lari ketakutan sambil berteriak-teriak minta tolong
karena dikejar babi hutan. Teriakan Rumimoto yang bergema didalam hutan, hingga
dapat didengar oleh Toar. Mendengar adanya suara teriakan yang sangat asing didengar
bergema,
dengan cukup sekali lompatan saja
lelaki Karema (Toar) telah sampai pada sumber suara asing yang didengarnya
tersebut, ternyata bersumber dari teriakan seorang gadis cantik Putri Rumimoto.
Betapa kaget Putri Rumimoto melihat
telah berdiri dihadapannya seorang laki-laki tinggi besar dan berbadan kekar,
sehingga mengakibatkan Rumimoto jatuh pingsan. Toar pun terheran-heran menatap
seorang yg berlainan jenis dengan dirinya yakni putri cantik jelita terbaring
lunglai tak sadarkan diri, beberapa bagian tubuhnya terdapat luka lecet pada
kulitnya yang putih akibat diterjang babi hutan.
Dengan sangat berhati-hati Toar
mengangkat wanita cantik tersebut dan dengan sekali melangkah Toar membawah
Putri Rumimoto pada suatu lubang bukit ( Gua batu Pasongan ) disekitar
Tombariri. Pada saat dalam perawatan Toar, Putri Rumimoto sadar dari pingsan
hingga kedua anak manusia yang berlainan jenis kelamin tersebut dan berlainan
suku bahasa ini saling tatap menatap keheranan satu sama lainnya. Mereka berdua
mencoba untuk saling berkomunikasi dengan gerakan tangan serta kalimat yang
keluar dari mulut masing-masing agar dapat saling memahami. Putri Rumimoto
ingin mengetahui apa maksud dari ucapan yg keluar dari mulut Toar yg
berulang-ulang disampaikan oleh Toar kepada Rumimoto. Sehingga dapat dipahami
sendiri oleh Rumimoto bahwa lelaki tinggi dan berbadan kekar yg berdiri didepan
matanya menanyakan namanya, lalu Rumimoto menjawab dengan gerakan tangan
mendekap kedadanya sambil menyebut namanya “saya adalah Rumimoto, selanjutnya
Toar menanggapi dengan cara mengeja kalimat yang disebutkan Rumimoto, lelaki
Toar hendak menirukan gerakan bibir ucapan yg keluar dari bibir putri Rumimoto.
Setiap kali kata-kata yang disebutkan dan dieja berulang-ulang oleh Rumimoto,
namun selalu saja yang terdengar hanya kata “ Lumimuut “ yang diucapkan oleh
Toar. Tidak seperti apa yg sudah diucapkan sebelumnya oleh Rumimoto. Kalimat
Lumimuut ini berulang-ulang diucapkan oleh Toar dengan wajah kegirangan.
Sehingga putri Rumimoto dapat saja
memahami bahwa Toar ternyata terasa janggal untuk menyebut kata Rumimoto, sebab
setiap kali putri menyebut Rumimoto, tetap saja Toar mengeja menjadi Lumimuut.
Lalu putri mengangguk anggukkan kepalanya seakan-akan membenarkan apa yg telah
diucapkan Toar tersebut.
Singkatnya Toar hidup bersama-sama
sebagai pasangan suami istri hingga beranak pinak, hingga turunannya tersebar
disegala penjuru tanah Malesung ( sekarang menjadi Minahasa ) dan tersebutlah
nama Toar Lumimuut sebagai ceritera rakyat (legenda) tentang asal usul leluhur
orang Minahasa. Hingga kini sesama orang Minahasa dimanapun berada dikenal
dengan sebutan orang Manado “ Kawanua “ dengan semboyan untuk menjaga Persatuan
(Minaesa) yang populer hingga saat ini adalah “ TORANG SEMUA BERSAUDARA ”.
Arti Sepesifik KAWANUA adalah :
KA artinya Keluarga
WANUA artinya Kampung
Sehingga diartikan Kawanua adalah
Keluarga sekampung dan atau Saudara yang berasal dari daerah yang sama yakni
Minahasa pada umumnya.
TEMPAT TINGGAL orang Minahasa atau
rumah disebut WALE yg artinya rumah yg dibangun diatas tiang kayu yg tinggi dan
untuk masuk keluar harus melalui tangga.Dahulu kala leluhur orang Minahasa
bertempat tinggal di Gua batu, kini Gua - gua peninggalan nenek moyang orang
Minahasa terdapat di Maliku, Bitung, Motoling, dan di Talikuran. Selanjutnya
leluhur membangun tempat tinggal rumah dari tiang kayu dengan penutup atap dari
lembar daun-daunan yakni daun Woka, Kelapa dan daun Rumbia yg disebut “Wale”
Rumah adat Asli orang Minahasa dapat dilihat di Tounelet, Kakas serta di
Tumpaan, Paslaten serta di Talikuran.
Dengan pesatnya perkembangan zaman
model Rumah adat Minahasa telah dibangun sesuai kebutuhan masyarakat yang dapat
dibongkar pasang untuk dipindahkan, dengan bentuk Rumah adat Minahasa moderen
akan tetapi tidak meninggalkan corak keaslian dari “Wale” yang dapat dilihat di
Woloan.
MAKANAN orang Minahasa sejak dahulu
adalah Beras dan pada umumnya masakan orang Minahasa banyak mengandung lemak.
Sedangkan minuman Khas – nya disamping air buah Kelapa,terdapat pula air pohon
Enau yg disebut SAGUER.
PERKAWINAN, orang Minahasa menganut
system MONOGAMI dan mengikuti garis Keturunan Bapak ( Patrinial ). Sedangkan
pergaulan Muda Mudinya boleh dikatakan agak bebas didalam menentukan pasangan
hidupnya.
TAHAPAN MENUJU PERKAWINAN SEBAGAI
BERIKUT :
- Lamaran kepada orangtua si Gadis melalui seseorang yg
disebut WADUK, apabila diterima langsung musyawarah mengenai jumlah Emas
kawin dan Tanggal Pertunangan ;
- Pertunangan resmi disaksikan oleh keluarga, Pemuka
Adat, Pemuka Agama dihadapan Pemerintah, dan pada saat itu Emas Kawin
untuk sigadis dibawah selanjutnya tanggal perkawinan ditetapkan ;
- Perkawinan dilaksanakan.